Pengalaman Ramadan di Dua Negeri Serumpun

Pengalaman Ramadan di Dua Negeri Serumpun

Oleh Dr. Nurul Hak, M.Hum.*

Antara tahun 2005 sampai dengan 2009, penulis pernah mengalami dan merasakan bulan Ramadan di dua negeri serumpun, Indonesia dan Malaysia. Ada suasana dan nuansa yang sama atau identik sekaligus berbeda antara kedauanya dalam melaksanakan ibadah dan aktivitas pada bulan Ramadan. Di antara hal yang identik adalah dalam aspek religiositas vertikal, yakni identik antara keduanya terletak pada antusiasme dalam menyambut dan melaksanakan ibadah puasa Ramadan, yang ramai dan semarak pada awal-awal Ramadan, tetapi mulai sepi dan pudar mulai pertengahan dan terlebih menjelang akhir Ramadan. Saat-saat akhir Ramadan seperti sekarang, Ramadan hanya tinggal beberapa hari lagi, jemaah tarawih semakin menyusut dan girah dalam melaksanakan berbagai ritual keagamaan surut.

Boleh jadi fenomena ini terkait dengan kredo yang diyakini mengenai Ramadan sebagai bulan pelipatgandaan pahala, pembukaan pintu surga, penutupan pintu neraka, dan pembelengguan setan, seperti yang sering didengung-dengungkan oleh para penceramah setiap Ramadan tiba. Namun boleh jadi pula fenomena ini seiring dengan adanya tradisi mudik pada akhir bulan Ramadan, sehingga karena banyak warga pendatang, setiap menjelang akhir Ramadan banyak yang kembali ke kampung halamannya.

Di samping itu, hal yang identik juga budaya konsumtif masyarakat dalam berbelanja, baik di pasar tradisional maupun pasar rakyat, seperti pasar tiban selama Ramadan atau pasar regular yang diselenggarakan masyarakat, maupun di pasar modern seperti supermarket dan mall. Hal itu terkait dengan paling tidak dan dapat dilihat dari tradisi mengadakan atau bahkan mengada-ada persediaan untuk berbuka puasa dan untuk persiapan lebaran Idulfitri. Ini kaitannya antara religiositas Ramadan dan budaya ekonomi konsumtif masyarakat secara horizontal. Untuk persiapan Idulfitri budaya konsumtif biasanya tampak lebih kentara lagi.

Sementara beberapa tradisi yang relatif berbeda di antara keduanya adalah dalam tradisi religiositas vertikal, terutama dalam pelaksanaan ibadah salat lima waktu. Di Malaysia, khususnya di pusat kota seperti Kuala Lumpur dan sekitarnya, salat lima waktu lebih tertib dan tepat waktu bagi para pelaku usaha, profesional dan pekerja swasta. Para sopir taksi, biasa memarkir taksinya berjejer menjelang waktu salat tiba dan mereka melaksanakannya secara berjemaah. Tampaknya waktu salat menjadi saat yang tepat untuk rehat sekaligus beribadah, terutama waktu zuhur, yang waktu pelaksanaannya hampir berbarengan dengan jam makan siang. Demikian juga dengan para pegawai negeri dan pelaku usaha. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada bulan Ramadan, tetapi juga pada bulan-bulan lainnya. Para sopir taksi selalu sigap ketika menjelang dan awal waktu sholat fardu tiba, terlebih lagi jika tidak sedang menjemput atau mengantar pelanggan.

Di Indoensia, semarak religiositas pada bulan Ramadan lebih banyak diisi oleh ceramah-ceramah keagamaan menjelang waktu buka puasa bersama, kultum sebelum tarawih dan tadarus Alquran setelahnya. Di Malaysia, yang semarak hanya ceramah keagamaan, itu pun di masjid-masjid besar saja. Tentu saja ia tidak sesemarak di Indonesia karena di Indonesia masjid tersebar di setiap kampung dan kegiatan cermah keagamaan biasa dilakukan per masjid kampung. Sedangkan di Malaysia, masjid hanya ada dua ketegori: masjid yang dibangun pemerintah dan masjid yang dibangun oleh PAS, sehingga masjid tidak sebanyak dan sesemarak di Indonesia.

Hal lain yang berbeda, di Malaysia, tradisi pasar rakyat tidak hanya semarak di bulan Ramadan, tetapi juga di bulan-bulan lainnya. Biasanya dua hari dalam seminggu di Malaysia terdapat pasar rakyat yang menjajakan beraneka ragam makanan khas daerah, kerajinan tangan, hasil pertanian dan palawija, sembako, makanan jajanan, dan keperluan rakyat sehari-hari lainnya. Tidak jarang barang-barang bekas pun dijual dengan harga miring. Biasanya, pasar rakyat ini digelar di pinggir jalan perkampungan ramai penduduk atau di gang-gang jalan masuk perkampungan yang tidak jauh dari jalan raya utama. Pasar ini buka mulai pagi sebelum subuh hingga paling akhir menjelang waktu zuhur. Fenomena pasar rakyat secara sederhana dapat digambarkan sebagai usaha ekonomi kreatif rakyat menengah dalam memajukan perekonomian masyarakat. Fenomana pasar rakyat ini persis seperti Sunday Morning (Sanmor) di sekitar kampus UGM, yang kini letaknya agak bergeser ke belakang sebelah timur. Bedanya, di Sanmor tidak ada produk hasil pertanian rakyat dan makanan khas daerah yang kurang beragam.

Pengalaman Ramadan di dua negeri serumpun tampaknya menunjukkan konstruksi keberagamaan yang diinterpretasikan berdasarkan tradisi religiositas dan kreativitas berbeda. Dalam beberapa aspek, keduanya memantulkan perilaku ketakwaan dalam ranah vertikal dan horizontal, sedangkan dalam hal-hal tertentu keduanya memunculkan kontradiktif, seperti dalam budaya konsumtif. Di sinilah letak keunikan budaya lokal masyarakat muslim serumpun pada bulan Ramadan.

*Dosen Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler