Puasa: Meningkatkan Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual
Puasa: Meningkatkan Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual
Oleh Agus Riyadi, M.Pd.*
Ramadan adalah bulan suci yang penuh rahmat dan ampunan. Banyak hikmah dan manfaat yang diperoleh ketika menjalani Ramadan dengan sepenuh hati. Melaksanakan puasa sebulan penuh untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.. Banyak manfaat yang diperoleh ketika kita sebagai seorang muslim menjalankan puasa, di antaranya puasa akan melatih dan mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional bahkan intelektual.
Pertama, puasa dapat mengembangkan kecerdasan spiritual. Apabila seorang muslim sejak dini dilatih berpuasa, maka keimanannya kepada Allah akan semakin bertambah. Ketaatannya menjalankan perintah agama akan semakin meningkat. Dalam menyambut bulan yang penuh berkah ini, selain melakukan ibadah puasa kita juga dapat mengerjakan ibadah lain yang hanya ada di bulan Ramadan, seperti salat tarawih bersama. Dengan melakukan puasa, tarawih, dan berbagai kegiatan keagamaan di bulan Ramadan maka kecerdasan spiritual kita akan semakin meningkat.
Peneliti di Americans College of Cardiology menyatakan “Melalui puasa atau menyucikan jiwa maka stres atau niat-niat melanggar norma yang ada dalam diri, dapat teratasi”. Ia menambahkan saat puasa orang menyadari tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Maka dari itu, semangat spiritualnya akan meningkat dan dapat merasa lebih tenang. Psikolog Universitas Indonesia (UI), Arief Witjaksono, mengatakan sejatinya pemikiran umat Islam harus menjadi positif setiap saat, tidak hanya pada Ramadan, tetapi juga harus konsisten di bulan-bulan selanjutnya. Bila manusia terbiasa berbuat baik dan menjalankannya secara tepat, maka dapat terbawa sehingga memberikan aura positif ke setiap orang.
Dengan semangat spiritualnya, seseorang berpuasa sebulan penuh akan terus menjaga motivasinya agar senantiasa stabil hingga garisfinish, terutama mendekati 10 hari terakhir di Ramadan karena pada 10 hari terakhir mereka akan mengejar satu malam yang setara atau bahkan lebih baik dari seribu bulan, lailatul qadar. Pada malam itu orang yang berpuasa akan mengerahkan segala daya upaya agar bisa mendapatkan kebaikan yang belum tentu setara dengan jatah umurnya di dunia yang fana ini. Singkatnya, kecerdasan seseorang secara spiritual akan senantiasa terus meningkat.
Kedua, puasa dapat mengembangkan kecerdasan emosional. Puasa identik dengan menahan hawa nafsu. Menahan lapar, dahaga, marah, dan berbagai aspek negatif lainnya dari terbit hingga tenggelamnya matahari. Dengan berpuasa kita berlatih mengendalikan emosi, menahan keinginan, maupun memadamkan nafsunya. Pengendalian diri terjadi secara perlahan namun pasti. Pengendalian diri akan berkembang seiring kemampuan anak menjalankan ibadah puasa. Memicu kecerdasan interpersonal. Kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan yang memungkinkan seseorang untuk memahami perasaan, suasana hati, keinginan, dan temperamen orang lain. Saat kita terbiasa sarapan pukul 07.00, maka rasa lapar itu akan datang saat tiba waktu makan siang. Begitu juga ketika berpuasa, saat jam makan siang datang, rasa lapar pun akan mengetuk perutnya. Pada saat seperti ini kita bisa mengambil hikmah dari kisah seorang miskin yang terkadang sampai berhari-hari perutnya tidak pernah diisi makanan.
Selain itu, kita juga bisa berkunjung ke panti asuhan atau kawasan kumuh yang kehidupannya pas-pasan. Dengan merasakan penderitaan orang lain, maka akan muncul rasa empati, rasa peduli, dan rasa kasihan kepada sesama. Bertambahnya kualitas ibadah di bulan Ramadan juga meningkatkan komunikasi sosial dengan keluarga, saudara, tetangga, maupun teman.
Puasa sejatinya bukan sekadar menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Orang yang berpuasa juga harus mampu menahan emosi dan seluruh anggota badannya dari perbuatan dosa yang bisa merusak nilai puasa. Maka dari itu, tak salah bila Ramadandisebut ajang melatih diri dan mencerdaskan emosi. Kecerdasan emosional ini mampu mengendalikan nafsu dan bukan membunuh nafsu.
Menurut Quraisy Syihab, emosi dan nafsu diperlukan setiap manusia untuk membangun dunia sesuai tuntunan Allah. Melalui kecerdasan itu, manusia dapat mengarahkan emosi atau nafsu ke arah positif sekaligus mengendalikannya agar tidak terjerumus ke dalam kegiatan negatif. Arief Witjaksono berpendapat bahwapuasamampu mengendalikan emosi seseorang. Baginya, perintah agama memang bertujuan agar pemeluknya dapat mengekang hawa nafsu. Oleh karena itu, bila itu dijalankan, maka mampu mengontrol berbagai penyakit hati dan emosinya menjadi stabil.
Ketiga, puasa dapat mengembangkan kecerdasan intelektual. Selain spiritual dan emosional, puasa juga dapat memicu perkembangan kecerdasan intelektual seseorang. Menurut hasil penelitian, puasa meningkatkan hormon pertumbuhan yang mengatur proses metabolisme dan meningkatkan fungsi otak. Puasa meningkatkan protein yang di produksi otak. Protein ini membantu peremajaan dan regenerasi sel induk otak. Protein ini juga dapat meningkatkan fungsi memori dan motor. Dengan terjadinya peremajaan dan regenasi sel-sel otak ketika berpuasa, maka kemampuan otak untuk berpikir, bernalar, dan berkreasi akan meningkat. Pertumbuhanpun akan menjadi lebih cepat.
Berdasar pada hasil penelitian yang dilakukan Americans College of Cardiology di New Orleans menunjukkan bahwasannya puasa dapat memicu kenaikan hormon pertumbuhan. Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar pituitary, tepat di bagian lobus anterior. Hormon pertumbuhan berfungsi mengatur pertumbuhan tinggi badan, membantu pembentukan otot dan tulang. Tumbuh menjadi pribadi yang lebih sehat Pada puasa, anak mempunyai pola makan yang sangat teratur. Sahur di kala fajar dan berbuka ketika magrib. Hal ini akan menyebabkan proses metabolisme menjadi lebih lancar. Lambung juga dapat beristirahat dan tidak bekerja terus-menerus sepanjang hari.
Dengan kecerdasan intelektual inilah sejatinya seorang muslim bisa berpikir, merasa, berbuat dengan baik sesuai dengan ajaran Islam karena prilaku seseorang berasal dari pikirannya. Seorang atheis tidak bertuhan karena ia berpikir bahwa Tuhan ini tidak ada di dunia. Begitu pula dengan orientalis, ia mengatakan jangan membawa nama Tuhan dalam kehidupan sosial, Tuhan hanya ada di tempat ibadah. Tindakan ini juga berasal dari pemikiran yang memisahkan atau mensekulerkan antara tuhan, agama, dan sosial. Inilah yang dimaksud dengan kecacatan intelektual. Seorang muslim sejatinya terjauh dari pemikiran yang sekuler karena world-view-nya dijaga oleh puasa yang bisa mencerdaskan kecerdasan intelektual. Wallahu A’lam Bisshawab.
* Dosen STIABI Riyadlul ‘Ulum Tasikmalaya, email: agusriyadi@stiabiru.ac.id