Mengenal Lebih Dekat Urgensi Ilmu Nahwu dan Ushul an-Nahwi
Mengenal Lebih Dekat Urgensi Ilmu Nahwu dan Ushul an-Nahwi
Oleh: Dr. Andi Holilulloh, M.A.*
Setiap kaidah bahasa, khususnya ilmu nahwu, akan selalu mengalami perkembangan dan juga perdebatan dalam pemerolehan kaidah nahwu tersebut. Perdebatan ini menjadi permasalahan di kalangan para ahli nahwu (arabic syntax experts) yang perlu adanya jalan keluar. Permasalahan dalam kajian ilmu nahwu dan pendapat para ahli nahwu yang selama ini muncul dapat didamaikan dengan ushul an-nahwi. Sebagai pemerhati ilmu nahwu yang idealis, kita perlu juga menyelami lebih dalam akan ilmu ushul an-nahwi. Jadi, ilmu nahwu dan ushul an-nahwi berjalan seiringan.
Sedangkan ilmu nahwu diartikan sebagai ilmu yang mengkaji perubahan harakat akhir kalimat karena adanya perbedaan ‘amil yang masuk pada lafadz tersebut, baik secara lafadz (lafdzan) atau dikira-kirakan (taqdiran). Ilmu nahwu dipahami juga sebagai penentu perubahan bacaan harakat akhir kata bahasa Arab yang valid menurut kaidah nahwu yang berlaku. Seorang ahli bahasa (linguist) perlu memahami kaidah nahwu dengan baik agar tatanan bahasanya benar dan jauh dari kesalahan. Jadi, penguasaan ilmu nahwu juga tidak boleh disepelekan oleh para pemerhati bahasa Arab, apalagi oleh para ahli bahasa (linguists).
Ilmu nahwu menjadi cabang ilmu bahasa Arab primadona di seluruh dunia. Ketenaran dan daya tariknya begitu kuat sehingga menjadikan ilmu nahwu menjadi paling favorit untuk dikaji. Namun ironinya, kebanyakan dari para pecinta ilmu nahwu itu tidak melek akan kajian ushul an-nahwi. Mereka hanya paham kaidah-kaidah nahwu saja seperti fa’il itu harus rafa’, maf’ul bih itu harus nashab dan idhafah terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih saja. Maka ini yang perlu dibenahi lebih dalam bahwa ilmu ushul an-nahwi juga tidak kalah penting untuk dipelajari dengan baik. Jika demikian, maka semakin mantap keilmuan para pecinta ilmu nahwu dalam menguasai kajian ini.
Merujuk kepada pernyataan Muhammad Ahmad Qasim selaku editor kitab al-Iqtirah fi Ushul an-Nahwi, dia menyatakan bahwa ushul an-nahwi merupakan ilmu yang membahas dalil-dalil dalam nahwu (arabic syntax) secara umum, baik membahas dalil nahwu atau metodologi penyusunan kaidah nahwu. Klo kita analogikan, ushul an-nahwi itu ibaratnya sebuah buku pedoman akademik bagi seorang mahasiswa dalam menimba ilmu di perguruan tinggi agar bisa sukses hingga meraih gelar sarjana. Oleh karena itu, ushul an-nahwi sangat penting bagi para ahli nahwu (arabic syntax experts) dalam memutuskan kaidah nahwu, hemat saya yaitu ushul an-nahwi itu pondasi atau bangunan dasar nahwu.
Ushul an-nahwi (formulation of arabic syntax) diciptakan setelah formulasi nahwu, dan menjadi prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan aplikasinya. Ushul an-nahwi menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai perbedaan pendapat di antara para tokoh nahwu (nuhah) dalam memahami dan menanggapi silang pendapat pada fenomena bahasa Arab, sejak masa jahiliah hingga masa pembakuan dan pembukuan nahwu (takwin an-nahw).
Ilmu ushul an-nahwi dan ilmu nahwu itu kalau kita bandingkan, maka hasilnya menjadi seperti ilmu ushul al-fiqh dan ilmu fiqh. Mengapa demikian? Karena sejatinya ilmu ushul an-nahwi ini terinspirasi dari ilmu ushul al-fiqh yang banyak mempengaruhinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa istilah ushul an-nahwi yang banyak mengadopsi dari istilah-istilah ushul fiqh. Istilah-istilah tersebut yaitu sama’, qiyas, ijma’ dan istishab dan lain sebagainya. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian ushul al-fiqh memiliki kontribusi bagi kajian ushul an-nahwi. Berikut ini penjabaran singkat istila-istilah tersebut:
as-Sama’i
Dalam istilah ushul an-nahwi, metode sama’i ini dinilai sebagai metode penentuan kaidah tata bahasa Arab yang dianggap masih dalam perdebatan, cukup bermasalah karena apa yang disimak dalam metode ini? siapa yang menyimaknya? kapan proses ini dilakukan? Sehingga nilai dari hasil proses sama’i ini masih dinilai otentik dan otoritatif sebagai sumber ihtijaj dan isytisyhad.
al-Qiyas
‘Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadrami menjadi orang pertama yang mengembangkan qiyas (analogi) dan pemikirannya mengenai ‘illah, sejak itulah nahw berkembang dalam nuansa analogi. Qiyas memang dipandang sebagai dalil penting dalam perumusan kaidah-kaidah nahw. Menurut Abu Bakar al-Anbari, “nahw itu semuanya qiyas, siapa yang mengingkari qiyas, berarti telah mengingkari nahw. Tidak seorangpun mengingkari qiyas untuk meneguhkan nahw dengan dalil-dalil kuat.
Qiyas dalam nahw kemudian memperoleh momentum yang luas ketika ilmu-ilmu Islam seperti ilmu kalam, fiqh dan termasuk juga nahw, bersentuhan dengan pemikiran filsafat Yunani, pada masa Al-Ma’mun dan sesudahnya, nahw itu berubah dari corak ta’limi menjadi corak ‘ilmi, dan pada aspek tertentu cenderung terpengaruh gramatika tradisional Yunani yang menekankan pada aspek ta’lil (memberikan alasan atau argumentasi terkait fenomena kebahasaan) atau yang kemudian dikenal dengan teori ‘amil.
Qiyas dalam nahw kemudian memperoleh momentum yang luas ketika ilmu-ilmu Islam seperti ilmu kalam, fiqh dan termasuk juga nahw, bersentuhan dengan pemikiran filsafat Yunani. Pada masa Al-Ma’mun dan sesudahnya, nahw itu berubah dari corak ta’limi menjadi corak ‘ilmi, dan pada aspek tertentu cenderung terpengaruh gramatika tradisional Yunani yang menekankan pada aspek ta’lil (memberikan alasan atau argumentasi terkait fenomena kebahasaan) atau yang kemudian dikenal dengan teori ‘amil. Para ulama nahw lalu banyak membuat rumusan kaidah dengan berbagai istilah nahw yang dinilai rumit dan berlebihan, padahal tidak diperlukan dan kurang fungsional, misalnya saja al-i’rab al-mahalli dan al-i’rab at-taqdiri.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti menghimpun atau merancang sesuatu. Menurut kacamata Ibnu Jinni, ijma’ merupakan kesepatakan para ahli nahwu (Arabic syntax experts) dari madzhab Bashrah dan Kufah setelah masa baginda Rasulullah SAW. Mereka banyak bermusyawarah untuk menjelaskan beberapa alasan (hujjah) dari kaidah nahwu yang diperoleh melalui ijma’. Selain itu, fungsi ijma’ tidak hanya menjelaskan hujjah semata, namun juga untuk menetapkan hukum nahwiyyah atau menjawab perdebatan kaidah nahwu yang terjadi di antara para ahli nahwu (nuhah). Menurut pendapat syeikh Mahmud Ahmad Nihlah, ijma’ memiliki tiga macam, yaitu: ijma’ ruwat, ijma’ para ahli nahwu dan ijma’ orang Arab.
al-istishab
Al-istishab atau juga istishabul hal merupakan sebuah istilah yang merupakan adopsi dari istilah ushul al-fiqh yang dilakukan oleh para ahli ushul an-nahwi. Dalam konsep al-istishab, ada empat aspek yang perlu diperhatikan oleh pegiat ushul an-nahwi, di antaranya: ashlu al-wadh’i, ashlu al-qaidah, al-‘udul ‘an Ashli al-qa’idah dan al-rad ila al-ashli.
Demikian pemaparan sederhana terkait ilmu nahwu dan ilmu ushul an-nahwi yang menurut penulis menarik untuk dikaji kembali. Saya mohon maaf sedalam lautan dan seluas samudera karena tulisan sederhana ini masih banyak kekurangan karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua…Allahumma amiin yaa rabbal’alamiin,
*Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta