Semarak Ramadan di Kota Ambon

Semarak Ramadan di Kota Ambon

Oleh Adib Fattah Suntoro, S.Pd.*

Ilmu itu ibarat air, harus mengalir dan tidak boleh tergenang terlalu lama karena air genangan selain tidak bermanfaat juga dapat menyebabkan penyakit. Demikian juga ilmu, tidak boleh hanya dipendam dalam pikiran saja, tetapi juga harus dialirkan (diajarkan) sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Islam kita diperintahkan untuk menyebarkan ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad swa., “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR Bukhari No. 3461).

Berangkat dari motivasi hadis di atas, mendorong saya untuk dapat membagikan sedikit ilmu yang mungkin saya miliki. Karena itulah, saya mendaftarkan diri dalam program SAHDAN (Semarak Dakwah Ramadhan) yang diselenggarakan oleh Yayasan Madina (Majelis Dakwah Islam Indonesia). Program SAHDAN adalah pendelegasian para dai ke berbagai pelosok Tanah Air selama bulan Ramadan hingga Idul Fitri. Sangat bersyukur ketika sampai kabar bahwa saya akan dikirim ke kota Ambon dalam kegiatan SAHDAN 1442 H ini.

Ini adalah pengalaman kali pertama saya terbang jauh ke luar Pulau Jawa. Satu hari sebelum Ramadan tiba, saya memulai perjalanan ini. Perjalanan dari Bandara Juanda Surabaya menuju Bandara Pattimura Ambon berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Setibanya di Ambon saya disambut oleh beberapa orang perwakilan Yayasan Madina di kota Ambon. Lalu kami meluncur menuju rumah salah satu pengurus yang akan saya tempati selama satu bulan lebih.

Sepanjang perjalanan kami berkenalan dan mengobrol singkat, sembari saya memperhatikan pemandangan di luar jendela mobil yang cukup unik bagi saya. Terlihat rumah-rumah dengan ornamen salib yang besar berjejer sepanjang jalan. Mereka pun menjelaskan kepada saya, bahwa daerah tersebut adalah daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen. “Nanti di setelah ini kita baru akan masuk ke daerah yang mayoritas muslim, Ustaz”, tukas salah seorang dari mereka. Pahamlah saya bahwa tidak seperti di Jawa yang Islam menjadi agama mayoritas, di Ambon Islam belum menjadi agama mayoritas. Data yang tercantum dalam situs resmi Kementerian Agama Provinsi Maluku menunjukkan bahwa jumlah penganut agama Islam adalah 136.783 orang, sedangkan penganut Kristen Protestan 161.055 orang, Kristen Katolik 22.777 orang, Hindu 385 dan Budha 347 Orang. Artinya, Islam adalah agama terbesar kedua di Ambon setelah Kristen Protestan.

Bulan yang penuh kemuliaan itu pun tiba. Ramadan bukan sekadar satu bulan di antara bulan-bulan Hijriyah. Lebih dari itu, Ramadan adalah musim kebaikan dan ketaatan. Gegap gempita seluruh muslim di penjuru dunia menyambutnya dengan suka cita. Kehadiran Ramadan mengubah iklim keberagamaan di masyarakat muslim menjadi lebih religius. Layaknya embun di pagi hari yang merupakan proses berubahnya gas menjadi uap air. Dalam agama Islam, embun itu termasuk air yang suci dan menyucikan. Seperti itu pula Ramadan, bulan suci yang menyucikan.

Iklim Ramadan yang penuh dengan kebaikan itu kami rasakan betul di Ambon. Setiap salat fadu, masjid dipadati dengan jemaah salat. Baik tua, muda, maupun anak-anak berduyun-duyun menyambut seruan azan. Tidak hanya itu, masyarakat Ambon juga cukup antusias dalam belajar Islam. Nama Ambon, menurut keterangan penduduk setempat, berasal dari kata ombong yang merupakan bentukan lokal dari kata embun. Hal ini karena puncak-puncak gunung di Pulau Ambon memang sering tertutupi oleh embun yang tebal.

Walaupun belum setengah bulan kami berada di kota Ambon, begitu banyak kesan baik yang kami rasakan. Keramahan masyarakat terhadap kami dan antusiasme dalam menyemarakkan dakwah adalah yang paling berkesan. Berbagai kegiatan dakwah seperti kultum subuh, salat fardu, salat dan kultum tarawih, salat Jumat dan ceramah sebelum berbuka puasa selalu diikuti masyarakat dengan penuh antusias.

Hari Jumat, 4 Ramadan 1442 H, kami berkesempatan untuk mengunjungi PPTQ Durrun Naafis yang ternyata lokasinya cukup terisolasi dari permukiman. Pesantren itu sangat sederhana, tetapi berwibawa. Di sana kami melakukan kegiatan buka bersama dengan para santri dan para ustaz. Diawali dengan kajian singkat sebelum berbuka dan ditutup dengan salat magrib berjemaah.

Ada satu kejadian yang membuat kami pribadi takjub pada pendidikan di sana. Ketika sedang mengantre untuk berwudu, tiba-tiba ada seorang santri yang kira-kira masih seumuran anak kelas SD menunjukkan tempat lain untuk berwudu. Ia mengantarkan kami ke sana dan menyalakan kran airnya lalu mempersilahkan kami untuk berwudu terlebih dahulu. Bagi kami pribadi, akhlak yang ditunjukkan santri tersebut sangat luar biasa dan mengesankan. Mereka para santri tidak hanya diajari untuk menghafal ilmu, tetapi juga diajari berakhlak mulia.

* Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor Ponorogo

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler