Ramadan Dua Abad yang Lalu: Kisah Lain pada Akhir Perang Jawa Bersama Pangeran Diponegoro dan Jenderal de Cock
Ramadan Dua Abad yang Lalu:
Kisah Lain pada Akhir Perang Jawa Bersama Pangeran Diponegoro dan Jenderal de Cock
Oleh Dra. Himayatul Ittihadiyah, M.Hum.*
Hari itu, 28 Maret 1830, adalah hari kedua di Hari Raya Idulfitri, bulan Sawal tahun Jimawal dalam hitungan bulan Jawa. Hari itu adalah hari ketika Pangeran Diponegoro menjemput takdir terakhirnya sebagai pemimpin Perang Jawa. Ia dan pasukannya dilucuti kekuasaanya oleh Jenderal de Cock. Pagi itu sekitar pukul 08.00 Sang Pangeran tampak berangkat ke Wisma Residen dengan kepasrahan. Ia bahkan merasa tidak perlu mengenakan pakaian kebesaran, tetapi hanya pakaian biasa-biasa saja, seolah mau jalan-jalan, seperti biasa ia dilakukan pada hari-hari sebelumnya. Demikian juga halnya dengan para anggota rombongannya, tidak ada yang menyandang lambang-lambang Jabatan. Di antara mereka ada 3 orang putranya, Pangeran Diponegoro II, Raden Mas Joned, dan Raden Mas Raib; 4 orang panglima tentara yang utama: Gondokusumo. Mertonegoro, Suryowinoto, dan Imam Musbah; dua orang penasihat agamanya: Haji Ngiso dan Haji Badaruddin; dan kedua orang punakawan yang setia Bantengwareng dan Joyosuroto. Pagi itu tidak seorang pun mengira bahwa sesuatu yang tidak diharapkan sedang berlangsung. Begitulah kira-kira gambaran yang dikisahkan oleh Pangeran Diponegoro dalam karyanya Babad Diponegoro, tentang kisah akhir perjalanan sang ratu adil di Jawa (Carey, 2019; bersumber dari Babad Diponegoro, IV Manado: 383-4, XLIII, 6-12).
Sebelum peristiwa pagi hari, pada hari kedua Hari Raya Fitri tersebut, rupanya Pangeran Diponegoro telah tiga kali bertemu dengan Jenderal de Kock, dua kali dalam acara jalan subuh di taman karesidenan selama bulan Ramadan, dan sebelum Ramadan ketika Jenderal de Kock datang sendiri ke pesanggrahan Pangeran. Pesanggrahan yang sengaja dipersiapkan oleh Residen Kedu, melalui kerja rodi tentunya, sebagai tempat singgah Pangeran Diponegoro beserta rombongan, sebelum kemudian mereka akan bertemu di acara perundingan, di Wisma Residen lama di Magelang. Dalam ketiga kali pertemuan tersebut, semunya berlangsung dalam suasana menyenangkan dan santai. Terciptanya suasana akrab tersebut, salah satu alasannya adalah karena mereka berdua merasa memiliki pengalaman yang sama, mereka baru saja berkabung atas kehilangan istri masing-masing yang sangat mereka kasihi. Raden Ayu Maduretno (Ratu Kedaton), istri Pangeran Diponegoro, meninggal pada bulan November 1827 akibat penyakit cacar. Istri Jenderal de Kock, Luise Fredericke Willemin, meninggal pada bulan November 1828 akibat menderita penyakit disentri. Barangkali itulah salah satu topik pembicaraan santai antara mereka. Mungkin juga peristiwa tersebut telah mendekatkan sisi manusiawi dua orang yang sedang berperang itu menjadi akrab dan saling menghormati.
Suasana damai itu terjadi selama bulan Ramadan, pada tahun 1251 H atau 191 tahun yang lalu, di perkemahan Menoreh, dan kemudian juga di Wisma Residen Magelang. pada bulan suci Ramadan tahun itu dua orang yang sedang berperang, tengah bercengkerama layaknya dua orang sahabat yang lama tidak bertemu lalu saling bercerita tentang kabar mereka masing-masing. Sebenarnya sekenario awal tidak demikian, tetapi semua mampu diubah atas gagasan Pangeran Diponegoro. Awalnya sudah direncanakan oleh de Cock bahwa perundingan akan dilakukan secepat mungkin agar semua masalah segera bisa diselesaikan secara tuntas, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Gubernur Jenderal van Den Bosch di Batavia yang sudah tidak sabar ingin agar Sang Pangeran segera ditangkap. Oleh karena itu, ia memerintahkan sang Jenderal agar menyelesaikan segala urusan secepatnya.
Untuk menjalankan misi atasannya tersebut, de Kock segera memerintahkan Colonel Cleerens agar segera membawa Sang Pangeran beserta rombongan, untuk menemuinya di markas besar di Kedu, akan tetapi, ketika akan berangkat ternyata Pangeran mendadak segara meminta untuk kembali ke Menoreh, dengan alasan waktu itu akan segera memasuki bulan puasa, bulan suci Ramadan, tepatnya pada tanggal 25 Februari 1830. Pada Bulan Suci tersebut seperti biasanya Pangeran akan segera menyepi untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, yang artinya tidak mungkin baginya untuk membicarakan segala sesuatu terkait masalah-masalah perang. Ia tidak bisa melakukan itu secara sungguh-sungguh dan tentu hasilnya akan sia-sia. Oleh karena alasan itulah, ia harus menolak permintaan Colonel Cleerens, termasuk permintaan untuk menulis sepucuk surat kepada de Cock agar menyampaikan tuntutan-tuntutannya dalam perundingan yang akan segera dilaksanakan. Karena Cleerens terus mendesak, akhirnya Pangeran Diponegoro pun menyatakan bersedia menemui de Cock namun hanya untuk kunjungan ramah-tamah biasa setelah sahur atau tepatnya setelah subuh, bukan untuk membicarakan mengenai hal-hal penting terkait perang. Setelah itu ia akan kembali ke perkemahan untuk menjalankan ibadah puasa bersama para prajuritnya. Perkemahan tersebut sudah dipersiapkan secara khusus oleh Residen Kedu, F.G. Valk, untuk pangeran beserta rombongannya, yakni berupa bangunan dari anyaman bambu dengan atap daun kelapa, di sebuah kawasan seperti pulau kecil di tengah Kali Progo, tepat di sebelah barat laut Wisma Residen, yang waktu itu dikenal sebagai Metesih.
Demikianlah akhirnya permintaan itu disetujui, dan selama bulan Ramadan waktu itu, tidak ada pembicaraan terkait perang ataupun masalah perundingan. Dua kali kunjungan Pangeran kepada Jenderal de Cock pun berlangsung dengan damai dan seperti tidak dalam suasana perang, bahkan Sang Jenderal menghadiahi Pangeran dengan seekor kuda berwarna abu-abu dan uang sebesar f 10.000 yang diberikan dua tahap, sebagai persediaan untuk keperluan para prajurit selama bulan puasa di perkemahan. Selama itu juga selalu sediakan segala keperluan mereka, mereka diminta untuk menyampaikan segala keperluan jika ada yang kurang. Pangeran juga diperkenankan untuk dikunjungi keluarganya yang sedang ditawan di Yogyakarta untuk bergabung bersama pangeran di Magelang. Semua yang terjadi adalah sesuatu yang di luar permintaan Gubernur Van den Bosch, namun kondisi tersebut adalah hal yang tidak dapat ditolak oleh De Kock karena ia telah berjanji untuk menghormati hak sang Pangeran selama bulan Ramadan.
Tidak ada yang tahu pasti mengenai apa yang ada di dalam batin kedua tokoh tersebut selama mereka beramah-tamah, kemungkinan keduanya sedang berbasa-basi atau berpura-pura akrab, sebagaimana yang sering terjadi dalam setiap pertemuan diplomasi. Namun bisa juga suasana yang tercipta di bulan suci waktu itu telah memunculkan sisi manusiwi dua tokoh yang sedang berperang tersebut menjadi merasa dekat. Simpati seorang de Cock terhadap Pangeran mungkin juga menjadi penyebab keakraban mereka. Dari sisi Pangeran Diponegoro sendiri yang sedang dalam kelelahan secara fisik dan posisi lemah secara relasi kuasa, sudah barang tentu memilih untuk mengulur waktu guna beristirahat sembari menunggu kemungkinan adanya momen yang baik dari setiap perubahan yang akan terjadi. Namun dari sisi Jenderal de Cock yang secara relasi kuasa jelas lebih kuat, pada dasarnya tentu tidak ingin kehilangan momen tersebut dan menginginkan segala sesuatunya segera selesai. Apa yang terjadi pada saat itu memang seperti tidak pernah direncanakan sebelumnya. Mungkin spontanitas Sang Pangeran muncul dalam situasi aktual pada saat itu, yang menyebabkan semuanya berubah, sehingga perundingan harus mundur 1 bulan lagi, dan mereka bisa menikmati bulan Ramadan tanpa gangguan, sebelum akhirnya pasrah atau menyerah pada takdir.
Waktu pun terus berjalan, dan bulan Ramadan pun segera usai, tidak ada pilihan dan momen apa pun yang akan mengubah keadaan. Sang pangeran pun sudah semakin banyak kehabisan energi dan keletihan, sebagian panglimanya telah ditangkap dan menyerah, tuntutan-tuntutan tinggi yang akan dibuatnya pun tidak akan mungkin dapat dipenuhi mengingat posisi mereka yang lemah. Semua yang dilakukannya saat itu bisa jadi hanyalah spontanitas pangeran untuk menunda waktu dan menjaga kewibawaannya yang kian merosot, bagaimanapun ia telah menerima tawaran untuk berunding dan bersedia untuk hadir ke Magelang. Jelas posisi keduanya sudah menjadi tidak setara, secara hitungan matematis posisi pangeran jelas tidak memungkinkan untuk mengajukan tuntutan yang lebih tinggi lagi, karena ia sendiri telah datang di kandang lawan, mustahil baginya untuk lepas dari jeratan kemauan pihak lawan. Mungkin Pangeran sendiri sudah memperhitungkan apa yang akan terjadi, demikian pula mungkin di hati sebagian para pengikutnya, bahwa saatnya telah tiba untuk menyerah pada takdir, bahwa perang untuk sementara harus berhenti, namun tetap dengan harapan bahwa suatu saat akan dilanjutkan oleh generasi yang akan datang dengan persiapan yang lebih baik, sebagai kelanjutan dari apa yang mereka perjuangkan.
Tulisan ini mungkin sedikit terkesan menyesalkan keputusan sang pangeran untuk menghadiri perundingan. Namun bukan itu tujuannya, tulisan ini lebih ingin menyampaikan pesan bahwa setiap manusia yang hidup di dunia akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan, termasuk di dalamnya adalah pilihan untuk berperang, baik perang fisik atau perang melawan hawa nafsu. Dalam kondisi tertentu, perang adalah sebuah pilihan yang tidak dapat ditolak. Sayangnya, relasi kuasa tidak selalu seimbang, sehingga perang sering kali harus dipilih karena tidak adanya jalan lain demi menjaga sebuah martabat dan kedaulatan, walaupun akhirnya harus berujung pada kekalahan. Memang benar bahwa Pangeran Diponegoro telah kalah, tetapi ia telah mewariskan hal yang sangat berharga, membela martabat dan kedaulatan bangsa (Jawa), dan agama (Islam) yang menjadi faktor penguat pada waktu itu. Perjuangan maksimal telah dilakukan, tawaran jalan tengah sebagai jalan ketiga juga pernah disampaikan, namun banyak hal yang menyebabkan pada akhirnya harus mengalami kekalahan, dan menjemput takdir kepasrahan dalam penyerahan diri. Pangeran Diponegoro tentu sudah memperhitungkan konsekuensi dari pilihan akhirnya dalam kepasarahan. Pada dasarnya Pangeran Diponegoro tidak hanya mewariskan kisah penangkapan dengan khianat oleh Jenderal de Cock di Wisma Residen Magelang, sebagaimana yang selama ini sangat populer dalam historiografi kita. Pada sisi lain, pangeran juga telah mewariskan sebuah kisah yang jarang diceritakan, yakni kisah damai pada bulan suci Ramadan tahun 1251, tentang bagaimana Sang Pangeran dalam kondisi yang lemah pada ujung akhir kisahnya sempat membuat skenario kisah tentang Ramadan yang damai dan bersahabat, yang diperankan oleh dua orang yang sedang terlibat perang besar, sebuah kisah yang dapat dinikmati pada ujung akhir Perang Jawa, sebelum akhirnya sang pemimpin dibawa ke pengasingan untuk menghabiskan masa tuanya.
*Dosen Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.