Theocentric vs Anthropocentric dalam kajian Bahasa
Theocentric vs Anthropocentric dalam kajian Bahasa
Dr. Zamzam Afandi, M.Ag.*
"كنتُ كنزا مخفيا فأحببتُ أن أُعرف، فخلقت الخلق لكي أُعرف"
(Semula Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, lalu Kuciptakan makhluq agar Aku dikenal).
Bunyi teks di atas sangat populer dalam literatur sufistik dan disebutkan sebagai hadits Qudsi. Terlepas sahih atau tidaknya hadits tersebut, kandungan maknanya sejalan dengan firman Tuhan , وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk “ya’buddun” (QS.Al-Dzāriyat:56), yang oleh Ibnu Abbas kalimat ya’budun ditafsirkan dengan “agar mereka mengenaliku (liya’rifūni)”.
Tuhan akan benar-benar menunjukkan ketuhanannya jika ada yang menuhankan, ada yang mengakui dan mengenali ketuhanannya. Ciptaan-ciptaan Tuhan itulah yang kemudian yang mengakui dan mengenali eksistensi-Nya.
Persoalan mendasar ialah bagaimana cara mengenal dan cara berkomunikasi antara Sang Pencipta dengan yang diciptakan? Dua pihak yang berjarak dan berlainan dimensinya. Paling tidak ada tiga cara mengenal Tuhan; pertama, menggunakan penalaran spekulatif hukum kausalitas yang berujung dengan pengakuan adanya causa prima (musabbib al-Asbāb, prime cause).Kedua, menggunakan ayat-ayat Tuhan baik ayat kauniyah(kesemestaan) seperti langit dan bumi serta segenap yang ada padanya. Ayat kauniyah sebagai cara mengenali dan mengakui eksistensi Tuhan ini oleh al-Jahidz (159H-255H), teolog dan pakar balaghah Mu’tazilah disebut dengan dalālah nashbah. Atau ayat lughawiyah, yaitu firman-firman Tuhan yang menjelma dalam huruf, kata dan kalimat yang terhimpun dalam kitab-kitab suci (korpus), diantaranya ialah al-Qur’ān.
Korpus suci yang disampaikan dalam bahasa Arab ini menimbulkan reaksi yang tak biasa. Pertama, bahasa yang digunakan melampaui nalar bahasa yang biasa mereka gunakan maupun yang mereka dengar dari para penyair yang hebat sekalipun. Bahkan melampaui keindahan puisi mistis para kahin (jamaknya kuhhān, yaitu orang memiliki kemampuan memprediksi dan memberitakan tentang yang gaib melalui perantara jin).Kedua, informasi yang disampaikan al-Qur’ān sangat ragam: pesan, himbauan, arahan, petunjuk, perintah, larangan, ketentuan-ketentuan hukum, kisah-kisah umat terdahulu, kehidupan setelah mati, alam akherat dan lain sebagainya agar menjadi panduan hidup makhluk utamanya, manusia. Kedua aspek tersebut pada giliranya melahirkan rasa takjub, hormat tertinggi dan pensakralan (taqdīs) terhadap al-Qur’ān.
Oleh karena itu, firman Tuhan ini harus dijaga dari segala kemungkinan terjadinya distorsi dan korupsi.Mereka sangat sensitif bila muncul gejala yang dirasa akan mengganggu keotentikannya.Terkait ini, contoh paling nyata ialah munculnya gejala laḥn (kesalahan berbahasa) pada masyarakat yang heterogin, plural dan berasimilasi dengan ragam suku bangsa dan budaya setelah makin meluasnya daerah penaklukan Islam (futuḥāt). Responnya sangat luar biasa. Ia menjadi triger munculnya kesadaran kajian bahasa dengan tujuan utama menyelamatkan al-Qurān dari pengaruh fenomena laḥn tersebut.
Lebih dari itu, kajian bahasa dalam tradisi Arab-Islam ialah karena didorong keinginan kuat untuk dapat memahami pesan-pesan Tuhan itu sendiri, atau menurut bahasa para intelektual Muslim Li hidmat al-Qur’ān, melayani al-Qur’ān. Mengapa untuk memahami al-Qur’ān diperlukan kajian bahasa? Pertama, sebab pasca kewafatan Nabi tidak ada lagi yang paling punya otoritas mejelaskan kehendak atau maksud Tuhan yang implisit dalam firmanNya. Kedua, ketidakmungkinan makhluk (manusia) sebagai penerima (mukhātab, mutalaqqi) firman dapat berkomunikasi langsung dengan pembicara (mutakallim, Allah) dan bertanya maksud dan makna firmanNya, karena memang perbedaan eksistensi dan dimensinya.
Oleh karena itu, yang paling mungkin dan paling tepat untuk berkomunikasi dan mengenali maksud dan kehendak Tuhan ialah melalui penelaahan bahasa firman itu sendiri.Tentu ini tidak mudah, sebab harus dihadapkan pada dua dimensi sekaligus:Vertical, ketuhanan, yang mengusik emosi keimanan dan kekhawatiran ketidaktepatan di satu sisi, dan dimensi horizontal, yaitu fakta bahasa yang tunduk pada hukum-hukum budaya di sisi lain. Kesadaran ini pada giliranya menuntut sikap ekstra hati-hati dalam merumuskan teori kebahasaan yang memang sejak awal dirancang untuk mengenali, berkomunikasi dan memahami kehendak-kehendak Tuhan melalui firmanNya itu. Kehati-hatian para perumus teori kebahasaan ini sangat tampak jelas pada sumber bahasa Arab yang dijadikan sebagai dasar acuan dan basic teorinya.
Mengingat bahwa status bahasa firman Tuhan menempati posisi tertinggi dari berbagai aspeknya, maka bahasa Arab yang dijadikan sumber dan basic teori pun merujuk pada bahasa yang dipandang memiliki status dan level tinggi pula, yaitu bahasa Arab kelompok masyarakat atau suku tertentu yang memiliki keunikan tertentu pula.Suku-suku itu seperti dijelaskan oleh al-Suyūṭī dalam kitabnya al-Iqṭirāḥ Fī Ushūl al-Naḥwi (206: 47-48) ialah Qais, Tamīm, Asad, kemudian suku Huẓail, sebagian suku Kinānah dan Ṭā’ī. Keunikan bahasa suku-suku tersebut ialah kemurniannya karena secara geografis mereka bertempat di wilayah-wilayah pedalaman sahara yang terisolir dari suku-suku bangsa lain.
Disamping pertimbangan tempat atau geografis, kriteria lain yang mereka tentukan ialah aspek waktu atau zaman. Bagi masyarakat Arab yang telah tinggal dan hidup menetap di perkampungan atau pedesaan (Ahl al-Hadhar) dibatasi hanya hingga pertengahan abad kedua hijriah saja yang dapat menjadi informan atau rujukan kebahasaan. Sementara informan dari mereka yang tinggal di pedalaman sahara (Ahl al-Bādiyah) dibatasi hanya hingga pertengahan abad keempat hijriyah. Pembatasan priode ini dalam tradisi linguistik Arab dikenal dengan istilah Ashr al-Iḥtijāj (priode penetapan hujjah bahasa).
Proteksi sumber kebahasaan yang sangat slektif ini disatu sisi menempatkan kajian linguistik Arab klasik pada posisi yang sangat rigid atau kaku, sebab tidak merepresentasikan bahasa segenap lapisan masyarakat, tapi hanya melibatkan sekelompok elit suku tertentu. Namun di sisi lain hal ini dapat dimengerti, sebab orientasinya bukan menyusun teori kebahasaan yang berbasis pada bahasa manusia dan untuk kepentingan manusia (anthropocentric),tetapi berbasis bahasa manusia namun didedikasikan untuk Tuhan (theocentric).Tujuan utamanya ialah untuk mencari pesan atau makna yang tepat dan benar.Makna menjadi kedaulatan Tuhan yang mesti dicari dan difahami dalam firmnNya, bukan kedaulatan manusia yang bebas menginterpretasikan firman sesuai kepentingannya. Karena itulah para intelektual muslim baik dari kalangan ahli bahasa, para pakar ushūl fiqh, para teolog dan bahkan para filosof muslim sangat antusias, kreatif dan dinamis menyusun teori-teori mencari makna yang tujuan akhirnya ialah Lihidmatil Qur’ān. Sebut saja diantara karya mereka ialah al-Mustashfā Min ‘Ilm al-Ushūl, karya al-Ghahzālī (1058 / 450 H –1111 / 505 H), al-Mu’tamad Fī Ushūl al-Fiqh, karya Al-Husaīn al-Bashrī al-Mu’tazilī (w.436H/1044M), al-Risālah al-Wadh’iyah al-‘Adhudhiyah, karya Adhudhīn al-Ījī (w.756 H), Tahdzīb al-Kalām wa al-Manthiq, karya Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī (722 H-792 H) dan lainnya.
Orientasi Theocentric bukan satu-satunya studi linguistik Arab klasik, namun jauh sebelumnya di India muncul tokoh besar pakar bahasa, Pāṇini, diperkirakan hidup antara abad ke-7 SM sampai abad ke-3 SM. Ia terkenal karena yang pertama kali menulis tentang tata bahasa Sanskerta yang berjudul Aṣṭādhyāyī. Karyanya ini memuat 3.959 hukum bahasa Sanskerta. Sama dengan linguistik Arab klasik, tujuan utamanya juga li hidmat al-Kitāb al-Muqaddas, Vida atau Weda, untuk memahami kitab suci Weda.
Sebaliknya, kajian-kajian linguistik di Barat yang marak sejak abad modern, disamping ada kepentingan kolonialisme, namun sepenuhnya berorientasi dan termotivasi kemanusiaan. Manusia sebagai titik tolak subjek kajian, li hidmah Insāniyahm, anthropocentric.Karena itu, linguistik Barat mengalami dinamika yang progresif, terus berubah dan berkembang, tidak stagnan, seiring dengan perkembangan pemikiran, kebudayaan dan peradaban mereka.Para pakar bahasa Arab, Mesir khusunya, baik yang menjadi bagian dari delegasi yang dikirimkan belajar ke Barat pada masa gubernur Muhammad Ali Basya (1769 M-1849M) maupun pada masa kepemimpinan setelahnya, menikmati betul model kajian linguistik di Barat.
Teori-teori linguistik Barat baik yang berdialektika dengan natural sciences, social sciences maupun psychological sciences, bukan saja membuka horizon baru pemikiran mereka, tetapi sekaligus menghentak kesadaran untuk menelaah kembali khazanah warisan intelektual para leluhur mereka.
Dampaknya, sepulang dari Eropa mereka membawa pembaharuan diberbagai bidang termasuk dalam kajian linguistik, mulai dari kritik terhadap nahwu,balāghah,metode pengajaran, hingga merumuskan pembaharuan dalam kajian-kajian linguistik Arab. Ibrāhim Anis (London University, 1941), Ahmad Mukhtār Umar (Cambridge University,1967), Tamām Hassān (London University, 1946), Kamal Basyar (London University,1953,1956) adalah sebagian yang dapat disebutkan dari tokoh pembaharu kajian linguistik Arab yang tercerahkan di Barat.
Betul apa kata Imam Syāfi’i, agar ide, gagasan dan pemikiran tak membeku dan busuk, maka harus berani keluar dari kotak dan zona yang nyaman.
سافرْ تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ * وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
>Berkelanalah, niscaya kan kau temukan pengganti orang-orang yang kau tinggalkan. Berjuanglah dengan sedaya upaya.Dengannya, kenikmatan hidup itu terasa.
إني رأيتُ وقوفَ الماء يفسدهُ * إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
>Aku saksikan air yang diam akan merusaknya. Air yang mengalir pasti sehat, tidak demikian sebaliknya.
wallāhu a’lamu bishawāb
*Dosen Program Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.