Kemilau Sastra Arab

KEMILAU SASTRA ARAB

oleh Kuswaidi Syafi'ie*

Pembahasan kita kali ini tentang sastra Arab saya batasi dengan kemunculannya setelah datangnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw pada paruh pertama abad ke-7 Masehi. Orientasi pembahasan saya tidak tertuju pada abad-abad sebelum itu betapa pun sastra Arab sudah mengalami kemajuan sebelum datangnya Islam.

Itu artinya adalah bahwa titik tumpu pembahasan saya secara global terhadap substansi dan pengaruh sastra Arab terhadap berbagai macam budaya di Indonesia mutlak tertuju kepada sastra Arab yang dipengaruhi, seberapa pun persentasenya, oleh nilai-nilai luhur keislaman.

Qur'an dengan gaya bahasanya yang sangat indah dan tidak tertandingi oleh berbagai macam pencapaian sastra Arab mana pun, tentu saja berpengaruh sangat besar terhadap penulisan berbagai macam sastra Arab. Demikian pula kandungan makna yang sangat mendalam dan substansial di balik teks-teks Qur'an: pastilah telah menggoreskan impresi di benak batin para sastrawan Arab yang kemudian melahirkan karya-karya sastra yang sangat bermutu.

Pun, keberadaan Nabi Muhammad Saw yang menurut Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi dalam kitab maulidnya yang berumbul Simtuddurar dikenal dengan sebutan ahl al-wara manthiqan wa ashdaq, orang yang paling lezat dan paling jujur bicaranya: pastilah telah ikut andil dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas sastra Arab yang muncul di kalangan umat Islam.

Tentu tidak asing lagi bagi kita bahwa berbagai macam karya sastra Arab dan karya-karya sastra dengan bahasa lain yang bernuansa keislaman banyak kita jumpai di berbagai negeri yang sebagian populasi penduduknya beragama Islam. Tidak terkecuali di Indonesia.

Jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945, di Nusantara telah menjamur lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan sebutan pondok pesantren. Di lembaga-lembaga tersebut bisa dengan mudah kita temukan aneka ragam karya sastra Arab yang isinya meliputi aneka ragam tema pembahasan: tentang tajwid, tentang fikih, tentang tauhid, tentang tata bahasa Arab, tentang tasawuf, dan lain sebagainya.

Menjamurnya aneka ragam karya sastra Arab itu tentu saja tidak hanya diserap oleh berbagai kalangan para pembacanya sebagai genangan ilmu pengetahuan an sich, tapi juga pasti dicerna sebagai benih-benih laku budaya yang mengejawantah secara konkret di daerah mereka masing-masing. Bahkan boleh jadi ajaran-ajaran yang terkandung di dalam berbagai macam karya sastra Arab tersebut mengental sebagai pandangan-pandangan hidup mereka.

Itu artinya adalah bahwa penyebaran berbagai ajaran Islam lewat karya-karya sastra Arab telah terbukti sangat efektif di dalam menginternalisasikan nilai-nilai keislaman ke dalam kesadaran para pemeluknya dengan frekuensi "spiritual" yang tentu saja berbeda-beda.

Dalam konteks pemahaman di atas, menjadi sedemikian gamblang bagi kita bahwa betapa tidak kalah pentingnya posisi "kulit" dibandingkan isi. Isinya bisa berbagai macam keilmuan apa saja, sementara bungkusnya adalah karya-karya sastra Arab yang begitu estetis dan rapi.

Di antara orang-orang yang terpelajar khususnya di bidang kesusastraan Arab, mereka bisa dengan leluasa memahami gumpalan-gumpalan makna yang tersimpan rapi di dalam berbagai karya sastra Arab. Sementara orang-orang yang tidak memiliki kemampuan menangkap aneka ragam maknanya, untuk karya-karya sastra Arab tertentu, mereka juga bisa menikmati kekhusyukan yang begitu nikmat ketika melantunkan bungkusnya.

Contoh yang sangat konkret dari dulu hingga kini adalah ketika sedang berlangsung pembacaan kitab-kitab maulid seperti Barzanji, Simtuddurar, Diba', Burdah dan lain sebagainya. Mereka yang tidak memahami makna-makna yang terkandung di dalam karya-karya sastra Arab tersebut bisa kita saksikan sedemikian khusyuk, sedemikian nikmat dan sangat antusias ketika melantunkan bait demi bait dari kitab-kitab sakral itu.

Mungkin muncul sebuah pertanyaan dari sebagian diri kita tentang dari mana "masuknya" kekhusyukan dan kenikmatan "rohani" tersebut terhadap jiwa-jiwa mereka. Saya yakin bahwa adanya pemahaman global pada diri mereka tentang pujian-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw yang dikandung di dalam kitab-kitab maulid, itulah yang telah menggerakkan dimensi emosional-spiritual di dalam diri mereka.

Fenomena pembacaan karya sastra Arab yang berupa kitab-kitab maulid semenjak tiga dekade terakhir begitu semarak di Nusantara. Di Yogyakarta sendiri, misalnya, dapat dipastikan bahwa setiap malam ada pembacaan kitab-kitab maulid yang diselenggarakan secara berjama'ah, baik yang jumlah jama'ahnya hanya puluhan maupun yang bahkan sampai mencapai ribuan.

Bagi mereka yang terlibat di dalam pembacaan kitab-kitab maulid tersebut, tentu saja berbeda impresinya andaikan kitab-kitab sakral itu dibaca dengan tidak disertai alunan-alunan lagu rohani. Lagu-lagu rohani yang berisi shalawat dan puja-puji kepada Sang Nabi Saw tentu lebih menyenangkan sekaligus menggetarkan dibandingkan kalau kitab-kitab maulid tersebut dibaca hanya secara datar belaka.

Pembacaan karya sastra Arab yang berupa kitab-kitab maulid secara demikian, tentu saja tidak mungkin berlangsung hanya sebagai angin lalu semata, tapi dapat dipastikan ada pengaruhnya terhadap perilaku keseharian para jama'ah seberapa pun persentasenya. Seperti bersikap lembut terhadap sesama, suka silaturrahim, suka menolong, suka gotong royong, dan lain sebagainya yang semuanya diformulasikan dalam bentuk-bentuk budaya sesuai dengan yang disepakati bersama di dalam sistem masyarakat tertentu.

Hal itu bisa disebut sebagai suatu kepastian yang merupakan bagian dari implementasi hukum sebab-akibat dalam pemahamannya yang luas. Bagaimana mungkin tidak, bukankah Nabi Tauladan Saw yang merupakan fokus sanjungan di dalam kitab-kitab maulid itu laksana telaga yang sangat jernih dengan air melimpah, sementara para jama'ah adalah orang-orang yang menciduk air jernih telaga tersebut untuk kemudian meminumnya demi menghilangkan dahaga dan untuk memperoleh kebugaran.

Sedangkan karya-karya sastra Arab yang dikonsumsi secara "senyap", utamanya yang bernuansa sufistik dan perlawanan sosial terhadap sistem masyarakat yang bobrok, telah melahirkan benih-benih kesadaran di kalangan para pembacanya sesuai dengan kemampuan mereka untuk merawat, menjaga dan menumbuhkembangkannya.

Di bidang Tasawuf, betapa banyak kalangan tokoh-tokoh Islam yang terpengaruh oleh berbagai nilai dan ajaran yang terkandung di dalam karya-karya sastra Arab yang dipelajari utamanya di pesantren-pesantren dari dulu hingga sekarang. Melalui karya-karya sastra Arab kesadaran religius mereka, dalam pemahamannya yang luas, terbentuk dan tumbuh.

Sementara karya-karya sastra Arab yang membahas tema-tema sosial murni sebagaimana yang termaktub di dalam buku-buku Naguib Mahfuzh di Mesir, tetap juga memberikan impresi terhadap sebagian masyarakat kita yang terpelajar walaupun tidak seluas pengaruh karya-karya sastra Arab yang telah lama beredar sekaligus mengakar di dunia pesantren.

Betapa sangat urgen eksistensi sastra Arab. Sangat signifikan untuk tetap diselami untuk kemudian dieksplorasikan ke dalam bentuk-bentuk sastra Indonesia, utamanya model-model karya sastra Arab klasik yang memiliki "timbangan-timbangan" lafal yang sangat jeli dan teliti. Wallahu a'lamu bish-shawab.

Yogyakarta, 14 September 2022.

*Narasumber Seminar SUKAARABIC FEST V “Kemilau Harmoni Sahara di Bawah Langit Khatulistiwa” pada 15 September 2022. Seminar ini diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 15 September Sebagai satu rangkaian acara SUKAARABIC FEST V TAHUN 2022.

* PengasuhPondok Pesantran Maulana Rumi Sewon Bantul Yogyakarta.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler